BAB
II
PEMBAHASAN
JUAL
BELI
A. Jual Beli Sah dan Macam – Macamnya
1.
Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara
tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya
adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Keuntungan tidak boleh berubah
sepanjang akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi
dan kalau kesulitan bayar karna lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut
akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi
harus dianggap sebagai pengurang piutang.
a.
JENIS
MURABAHAH
1) Murabahah Berdasarkan Pesanan
(Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat
mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah memesan barang
harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang
tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut .
2) Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis
murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat
ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh
penjual.
b.
RUKUN
DAN SYARAT MURABAHAH
1.
Pengertian
Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak
dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada
salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau
lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun
dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'),orang yang membeli (Musytari),Sighat
dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
2.
Syarat
Murabahah
a. Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan
Musytari harus paham hukum atau baligh (dewasa), dan mereka saling meridhai
(rela)
b. Khusus untuk Mabi' persyaratanya
adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan
juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
c. Harga dan keuntungan harus
disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan
sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
c.
DASAR
HUKUM MURABAHAH
Dalam islam,perdagangan dan
perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi
bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
"Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . . ." (QS. An-Nisa : 29)
3….. ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ……s
"…Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…,”. (QS.2:275)
Al-Hadist
“Dari
Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka". (HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
d.
KETENTUAN
UMUM MURABAHAH
1. Jual beli murabahah harus dilakukan
atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan
penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai
besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan
dalam jual beli..
3. Ada informasi yang jelas tentang
hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai
salah satu syarat sah murabahah
4. Dalam system murabahah, penjual
boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak
tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (anatara penjual
dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli
secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan
pembeli murabahah.
2.
SALAM
a. Pengertian Salam
Dalam pengertian sederhana, as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka[2].
b. Rukun As – Salam
Pelaksanaan
as- salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a. Muslam (pembeli)
b. Muslam Ilaih (Penjual)
c. Modal atau Uang
d. Muslam Fiihi (Barang)
e. Sighat (Ucapan)[3]
c. Syarat as – salam
1.
Modal
Transaksi as – salam
a. Modal Harus Diketahui
b. Penerimaan Pembayaran Salam
2.
Al
– Muslam Fiihi
3.
ISTISNA
Transaksi istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha memalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga system pembayaran, apakah
pembayaran dilakukan dii muka, cicilan, atau di tangguhkan sampai suatu waktu
pada masa yang akan datang.[4]
B. JUAL
BELI BATAL DAN MACAM – MACAMNYA
1.
GHARAR
Defenisi gharar
menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah[5]: Al-ghararu
manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa
akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah apa-apa
yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling
mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”
Wahbah
al-Zuhaili[6] memberi
pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir,
yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang
tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu
dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan
yang menipu.
Dengan demikian
menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu
tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar
dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang
diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.
Selanjutnya
Wahbah al-Zuhaili mengutip beberapa pengertian gharar yang dikemukakan
oleh para fuqaha yang maknanya hampir sama:
1.
Al-Syarkasi dari mazhab Hanafi
berpendapat, al-gharar ma yakun masnur al aqibah ,artinya: “sesuatu yang
tersembunyi akibatnya”.
2.
Al-Syirazi dari mazhab Syafi`i
berpendapat, al-gharar ma intawa `anhamruh wa khafiy
alaih `aqibatuh, artinya : “sesuatu yang urusannya tidak diketahui
dan tersembunyi akibatnya”
3.
Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah
tidak diketahui akibatnya.
4.
Ibn Hazm berpendapat, gharar itu
ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tahu apa yang ia
jual.
Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling
tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah
minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat
berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak
jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat
menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi.
Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya
jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah[7]:
1.
Timbangan yang jelas (diketahui
dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2.
Barang dan harga yang jelas dan
dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
3.
Mempunyai tempo tangguh yang
dimaklumi
4.
Ridha kedua belah pihak terhadap
bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam
bisnis Islam mempunyai perananan yang begitu hebat dalam menjamin
keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya
tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.
2.
HUSHAH
Dari
Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hushah. Jual beli hashah
(kerikil) ialah jual beli dimana pembeli menggunakan krikil dalam jual beli.
Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual. Barang yang
mengenai suatu barang akan dibeli dan kerika itu terjadilah jual beli.
3.
MUZABANAH
Dari
'Abdullah bin 'Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang jual beli
muzabanah. Muzabanah adalah menjual kurma basah dengan kurma kering dalam bentuk
takaran atau menjual kismis dengan anggur dalam bentuk takaran.
Masih
dari 'Abdullah bin 'Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw. melarang muzabanah,
yaitu seseorang menjual buah-buahan hasil kebunnya. Apabila kurma segar ditakar
dengan kurma, anggur ditakar dengan kismis, bahan mentah ditakar dengan
makanan. Rasulullah saw. melarang bentuk-bentuk jual beli seperti itu,"
(HR Bukhar dan Muslim).
C. JUAL BELI FASID DAN MACAM –
MACAMNYA
1.
NAJASY
1.
Konsep
Dasar
Dalam pengertian terminologis
adalah: (ketika) seseorang menambah harga pada suatu barang, namun ia tidak
membutuhkan barang tersebut dan tidak ingin membelinya; ia hanya ingin harganya
bertambah, dan akan menguntungkan pemilik barang
Dalam
dunia bisnis komoditas tertentu, ada sebuah cara yang bisa dilakukan oleh
pemilik barang untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan seseorang atau
sekelompok orang untuk berpura-pura menawar barang dagangannya dengan harga
tinggi dengan maksud untuk memancing keinginan para calon pembeli barang
tersebut untuk menawarnya dengan harga tinggi (atau bahkan lebih tinggi
daripada nilai tawar barang tersebut), yang dalam istilah fikih dikenal dengan
sebutan “najasy” (jual-beli najasy). Jual-beli dengan pola ini
jelas dilarang oleh Islam, karena akan berakibat merugikan para pembeli. Inilah
praktik jual-beli yang berujung pada “riba”.
Teks Hadis
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Terjemah:
“Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya
Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang
lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara
najasy. (HR al-Bukhari)”
2.
TALAQQY
RUKBAN
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang
desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si
pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa: Rasulullah (talaqqi
rukban) (H.R.Bukhari).
Dikatakan larangan karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak
memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi
para pedagang.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh
pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi
di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak,
dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu
berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk
mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota
terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.
3.
URBUN
Bai’ Arabun ialah : Seseorang membeli sesuatu dengan membayar harga
panjar/persekot/’arabun kepada penjual. Jika calon pembeli mengurungkannya, maka persekot
hangus dan menjadi hibah kepada
penjual. Jika jual beli diteruskan, maka harga
persekot merupakan bagian dari harga beli, atau jika ternyata
akad dibatalkan oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi milik
penjual. Akan tetapi, bila transaksi berlanjut, maka uang muka tersebut menjadi
bagian dari harga yang telah disepakati.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jual
beli adalah suatu kegiatan untuk memenuhi atau saling melengkapi kebutuhan
antara konsumen dan produsen yang di lakukan tanpa ada sifat keterpaksaan,
penipuan ( timbangan, uang palsu, barang yang cacat dan lain-lain ). Hak antara
konsumen dan produsen dalam hukum Islam adalah sejajar baik untuk menjual
maupun membeli barang tersebut. Dari aturan-aturan yang di gariskan oleh Allah
kepada hambanya untuk mengatur jalanya roda perekonomian sebagai salah satu
dari dua krtiteria penilayan masayarakata “maju” menurut versi orang sekarang.
Hikmah
jual beli yaitu adanya rasa keterkaitan dan saling membutuhkan sehingga dapah
mengukuhkan rasa persaudaraan, kemudian tidak ada yang melengkapi kebutuhanya
sendiri baik dalam skala yang besar maupun kecil sehingga dengan jual beli
terjadilah interaksi yang sifatnya aosiasi antara kedua belah pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad hms,
2007, Aspek Hokum Dalam Muammalat, Yokyakarta : Graha Ilmu. Hlm. 77
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1985. Ushul Fiqh al-Islami. Beikrut;
Darul Fikr.
-----. 1989. Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Cetakan
ke-4. Damaskus: Darul- Fikr
Al-Kasani, Abu Bakar Ibnu Mas’ud. Al-Bada’i was-Sana’i fi Tartib ash-Shara’i .
Edisi ke-2. Beirut: Darul-Kitab al-Arabi.
Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul
Mujtihad wa Nihayatul Muqtasyhid (Beirut: Darul-Qalam, 1988) ; al – Mabsuth vol. XII, hlm. 124
Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa `Adillatuhu.
Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus. Syria, hal 435-437
Al Imam an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Dar
Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal 210
[1] Muhammad hms, 2007, Aspek Hokum Dalam
Muammalat, Yokyakarta : Graha Ilmu. H. 77
[2] Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul
Mujtihad wa Nihayatul Muqtasyhid (Beirut: Darul-Qalam, 1988) ; al – Mabsuth vol. XII, hlm. 124
[3] Wahbah
az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa
Adillatuhu (Damaskus: Darul-Fikr, 1997), cetakan ke-4, vol. V, hlm.3604 dan
sedudahnya
[4]
Abu Bakar
Ibn Mas’ud al-Kasani, al-Bada’I
was-Sana’i fi Tartib al-Shara’I (Beikrut: Darul-Kitab al-Arab), edisi ke-2
[5] Syarikat Takaful
Malaysia, Op., Cit., hal 19
[6] Wahbah
Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa `Adillatuhu. Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus.
Syria, hal 435-437
[7] Al Imam
an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Dar Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal
210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar