Kamis, 21 Februari 2013

Makalah 'Urf

 Muhammad safar

 ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan, dan permasalahannya




BAB I
BAB II
PEMBAHASAN

 
    A.    Pengertian  ‘Urf

        Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat” sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul -karim  Zaidah, istilah ‘Urf berarti :
Sesuastu yang tidak asing lagi bagi suatu  masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.  

    B.     Landasan Hukum ‘Urf.
             Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.

‘Urf mereka terima sebagai landasan hokum dengan beberapa alasan , antara lain :
  1. Surat al-a’raf ayat 199:
     Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
  1. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

    C.   
     Macam-macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada  tiga macam :
  1. Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-‘Urf al-Lafzhi.
  Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
  1. b.  Al-‘urf al-‘amali.
        Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2. Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
  1. Al-‘urf al-‘am
      adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan  diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

b. Al-‘urf al-khash
   adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang    dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

a. Al-‘urf al-Shahih.
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
  1. Al-‘urf al-fasid.
         Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahamad Ibnu Hanbal) dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid. 

D.    Permasalahannya
      ‘Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya berteentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut :
  1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus.
        Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya huklum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
  1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
         Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidaka ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh ‘urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
  1. ‘urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
         Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hokum secara umum. 

E.     Keduduksn ‘urf
        Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’. Baik yang menyangkut dengan ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘amali, dapat dijkadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara’.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
  1. Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”
  1. Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
  1. Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am 9kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
  1. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
  1. Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’.


DAFTAR PUSTAKA 


Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih, (Jakarta: kencana, 2005)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II ( Jakarta : logos wacana Ilmu, 1999)


  •  Prof. Dr. Satria Effendi, M. zein, MA
  • Ibid
  • Op. cit
  • Ibid
  • Amir Syarifuddin, ushul fiqh II
  • Op. cit
  • Amir Syarifuddin, ushul Fiqh II
  • Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar